Selamat Datang,

Blog ini berisi segala wacana yang berhubungan dengan bahasa dan sastra Indonesia. Di antaranya tentang wacana bahasa dan sastra Indonesia, bahan ajar, pusi, cerpen, penelitian, lomba menulis / mengarang, hingga tes kebahasaan.
Saya berharap ada kritik dan saran Anda yang dapat menyempurnakan blog ini.

Bagi adik-adik, silakan membaca atau mengkopi isi blog ini untuk keperluan tugas atau lainnya. Sesuai dengan etika ilmiah, silahkan kutip sumbernya yaitu dari blog ini.

Terima kasih atas kunjungan Anda.

Blogmaster



Puisi

Model Membaca Puisi Terbaik

26 Juni 2008

Mengapa Kita Perlu Bangga pada Bahasa Indonesia

Seorang ahli politik dan pengarang dari Irlandia yaitu Thomas Osborne Davies (1814-1845) pernah menyampaikan pernyataan yang selalu menjadi catatan bagi para politikus, yaitu "A people without a language of its own, is only half a nation". Artinya kurang lebih suatu bangsa (negara) yang tidak memiliki bahasa yang berasal dari miliknya sendiri, dianggap 'setengah bangsa' atau bukanlah bangsa yang besar. Bisa diartikan bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki bahasanya sendiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki bahasa nasionalnya sendiri.

Dapat dianalogikan, kita memiliki uang yang banyak namun uang milik orang lain, tidaklah kita patut berbagangga karena itu bukan uang milik kita. Lain halnya bila uang itu milik kita sendiri, kita patut berbangga karenanya. Kita patut berbangga terhadap milik kita sendiri.

Demikian halnya dengan keberadaan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia. Bahasa ini milik kita sendiri. Bahasa ini berasal dari bahasa Melayu. Pemangku budaya bahasa Melayu adalah suku Melayu yang tinggal di Riau, yang memang dalam wilayah negara kita. Tidak ada alasan untuk tidak menerimanya dan tidak membanggakannya.

Konflik Bahasa

Ada banyak bangsa yang tidak menggunakan bahasa miliknya sendiri. Contohnya, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan banyak lagi menggunakan bahasa Inggris. Beberapa bangsa juga lebih bangga menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa nasionalnya sendiri, contohnya India dan Hong Kong.

Tidak mudah memiliki suatu bahasa nasional. Sejarah telah membuktikan betapa sulitnya dapat memiliki bahasa persatuan. Salah satu negara kecil di Afrika tidak jadi mereka dan mereka berperang antarsuku karena berebut agar bahasa sukunya sendiri diangkat menjadi bahasa nasional.

Beberapa negara Barat, di antaranya Swiss memiliki 3 macam bahasa persatuan. Untuk menentukan menjadi hanya satu bahasa persatuan mereka harus berdebat panjang tanpa usai yang akhirnya tetap dibiarkan menggunakan ketiga bahasa tersebut.Beberapa negara seperti India dan Filiphina lebih suka menggunakan bahasa Inggris dan Spanyol dari pada bahasa nasionalnya, karena berasal dari suku mayoritas yang kurang disukai.

Beruntunglah Indonesia karena konflik tersebut tidak pernah di alami. Berdasarkan Esser (1930), pemakai bahasa Jawa saat itu terbesar 40%, sedangkan bahasa Sunda dan bahasa Madura masing-masing kurang lebih 10% sementara bahasa Melayu kurang dari 10%. Namun apa yang terjadi bahasa mayoritas tidak diangkat menjadi bahasa nasional, justru bahasa Melayu yang diterima .

Berbagai alasan yang agak rasional pernah disampaikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana tentang keunggulan bahasa Melayu, di antaranya lebih sederhana, mudah dipakai, dan lebih luas wilayah pemakainya. Namun, yang lebih penting dari hal itu adalah kesediaan hati orang-orang Jawa merelakan bahasa mereka yang sudah mapan (established) sebagaimana bahasa Jepang, dan bahasa Inggris, untuk tidak menjadi bahasa nasional, demi persatuan bangsa Indonesia. Nuansa nilai tradisional 'tuna sathak bathi sanak' (rugi tidak masalah demi beruntung dalam persaudaraan) sangat kental pada para nasionalis kita waktu itu.

Karena itulah, kita harus bangga karena memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang tidak setiap bangsa memilikinya. Kita pun harus mencintainya dengan menggunakannya dalam konteks yang tepat.


3 komentar:

Masukan dan Komentar Anda

Cara Cepat Mencari Blog Ini>>>>>>>>>>> Ketikkan Wacana Bahasa pada Google