Apa yang terjadi jika siswa kawin-kawinan masuk media? Jawabannya
tergantung siapa sutradaranya, topiknya, dan media apa yang dipakai. Jika
sutradaranya siswa sendiri dikhawatirkan topiknya hal-hal mesum, kemudian materinya
diunggah ke internet. Hasilnya memang
menghebohkan. Namun demikian, siswa tersebut mungkin akan dikeluarkan dari
sekolah dan melekat pada mereka sederet predikat negatif.
Sementara itu,
seandainya saya sutradaranya maka saya usahakan isinya edukatif, mengacu pada silabus-kurikulum,
dan kemasannya dalam bentuk media pembelajaran berbasis TIK, maka hasilnya akan
lebih baik dan bermakna. Hal ini telah terbukti pada media presentasi
pembelajaan saya “Mudahnya Melaksanakan Nikah” (Edisi 2008). Justru media ini
mendapat apresiasi yang luar biasa karena keunikannya dan memenangi Juara 1
Tingkat Nasional pada Lomba Pembuatan Media Pembelajaran Berbasis TIK
Kementerian Agama, tahun 2008.
Bermula dari
pengumuman lomba tersebut di website Kemenag, akhirnya saya memutuskan untuk
kembali mengikuti tantangan lomba. Segera saya berkolaborasi dengan para guru
Fiqih dengan harapan bisa menang kembali. Akhirnya, kami memutuskan untuk
mengangkat topik bahasan Nikah yang ada dalam silabus Madrasah Aliyah. Mengapa?
Alasan yang paling mendasar adalah ketiadaan media di pasaran. Di sisi lain,
para siswa perlu mengetahui secara jelas tatacara penyelenggaraan nikah. Yang
terjadi saat akah nikah di masyarakat umumnya yang menyaksikan adalah para
kerabat, khususnya sesepuh pihak pengantin putra maupun putri. Para siswa /
remaja biasanya hanya ‘nguping’ di belakang dan tidak bisa menyaksikan langsung
prosesi tersebut. Padahal justru merekalah yang akan mengalami prosesi itu
dalam waktu relatif dekat.
Selanjutnya saya
kembali bertindak sebagai sutradara dengan melakukan ‘casting’ (pemilihan
peran) kepada para siswa yang akan saya jadikan calon pengantin putra maupun
putri, serta para bapak-ibu guru sebagai wali, modin, penghulu, dan lain-lain. Pengantin
sengaja saya carikan yang paling ganteng dan paling cantik. Sementara itu,
bapak-ibu guru bidang studi agama langsung berperan sebagai pemeran di atas.
Agar perfect saya menggunakan lokasi di aula nikah
Kantor Urusan Agama (KUA) Kabupaten Sidoarjo yang biasanya dipakai untuk
prosesi akad nikah. Ternyata kami diijinkan. Kami juga mendapat bimbingan dan
arahan dari para staf KUA tentang tatacara akad nikah yang benar. Akhirnya
pengambilan gambar kami lakukan ditempat tersebut hingga selesai.
Proses berikutnya
adalah penyusunan paparan materi yang harus disampaikan dalam media. Dalam hal
ini saya selalu berkonsultasi dengan guru-guru agama, khususnya Fiqih. Proses
pengisian suara tambahan melalui ‘dubbing’
juga berjalan lancar. Saat editing
dan finishing multimedia, kami tidak
menghadapi kesulitan yang cukup berarti karena sudah memiliki pengalaman
sebelumnya dalam membuat projek media presentasi pembelajaran.
Saat proses
penjurian oleh seorang profesor pendidikan dan dua doktor bidang multimedia dan
pembelajaran, media kami diberikan apresiasi terbaik (Juara 1). Ternyata menciptakan
yang baru dari yang belum pernah ada, paduan serasi antara teks, gambar, suara,
music, serta keunikan media memiliki nilai tambah dibandingkan dengan karya-karya
peserta lomba lainnya yang sama-sama memiliki keunggulan.
Karena keunggulan
media dengan topik inilah kemudian media pembelajaran ini diminta Kantor
Kementerian Agama untuk dijadikan media “suscatin” (kursus calon pengantin)
bagi pasangan calon pengantin yang akan menikah. Jadi, mereka yang mau menikah
harus melihat media ini dulu.
Akhirnya saya berkesimpulan bahwa kreativitas lah
yang harus dimaksimalkan dalam merancang media yang bermakna. Kita bisa membuat
media dengan topic apa pun namun harus mengacu pada nilai pendidikan dan
kualitas estetika media.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukan dan Komentar Anda