“Pada jaman Tanah Pulau Jawa sangat labil, sering bergetar atau terguncang-guncang. Seperti sebuah perahu, pulau ini dapat bergeser ke utara saat gelombang besar dan akan bergeser ke arah selatan saat laut surut. Getaran gelombang laut selatan yang sangat besar juga turut menggetarkan tanah Pulau Jawa”, demikianlah gambaran Tanah Pulau Jawa yang sangat labil pada saat itu sebagaimana dalam cerita Tantu Tanggelaran. Hal ini mungkin sebagaimana gambaran tanah Pulau Jawa (atau Indonesia) saat ini yang sangat sering terjadi gempa.
Diceritakan selanjutnya, para dewa yaitu Bathara Brahma, Wisnu, Narada, Anta Boga, dan lain-lain di bawah pimpinan Mahadewa Syiwa (Bathara Guru) bermusyawah untuk mengatasi masalah tersebut. Maka diputuskanlah untuk memberi beban pemberat agar tanah Pulau Jawa tidak labil dan bergerak-gerak. Caranya dengan memotong puncak Gunung Maha Meru (Gaurin Sankar / Mout Everest).
Dewa Bumi (Bathara Anta Boga) berubah menjadi naga raksasa dan bertugas melilit puncak Maha Meru. Para dewa lainnya turut membantu bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah. Bumi terguncang dengan hebatnya, tatkala peristiwa ini terjadi.
Selanjutnya potongan dari puncak Gunung Maha Meru dibawa terbang ke atas Pulau Jawa. Kemudian bagian tersebut dipotong-potong menjadi Gunung-gunung dan pegunungan di Pulau Jawa yang terbentang dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, antara lain Gunung Ceremai, Gunung Slamet, Gunung Dieng, dan lain-lain. Akhirnya sisanya ditaruh di Jawa Timur yang disebut Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa.
(Kisah cerita Tantu Panggelaran sebenarnya masih panjang, namun untuk fenomena kejadian Pulau Jawa cukup sampai di sini). http://www.wacananusantara.org/2/157 /kitab-tantu-panggelaran
Reflection of reality and reflection of minds
Fenomena gempa bumi di Pulau Jawa yang sangat sering terjadi, membutuhkan jawaban yang masuk akal. Pada jaman dahulu logika berpikir masyarakat selalu dikembalikan pada keyakinan mereka, yaitu mitos yang ada dalam agama Hindu saat itu.
Tantu Panggelaran adalah sebuah teks prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan manusia di pulau Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia. Tantu Panggelaran ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan pada zaman Majapahit. Suntingan teks yang sangat penting telah terbit pada tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th. Pigeaud.
Khusus yang berhubungan dengan wacana gempa bumi, cerita Tantu Panggelaran ini merefleksikan realitas bahwa tanah Pulau Jawa memang sangat labil sejak jaman dahulu. Cerita ini pula merefleksikan kegelisahan pemikiran masyarakat kita saat itu untuk mencari jawaban fenomena kelabilan tanah Pulau Jawa ini. Para pujangga kerajaan sebagai kaum intelektual mencoba memberikan jawaban melalui khasanah pengetahuan mereka.
Sebagai pemangku otoritas keilmuan saat itu, para pujangga menjawabnya dengan menyadur atau bahkan mengarang cerita etiologis yang berhubungan dengan proses kejadian sesuatu di alam semesta. Di samping itu, karena wacana berpikir masih terbatas dan belum sampai pada taraf berpikir ilmiah, maka jawawabnya masih berupa mitos. Akhirnya, mitos ini pula yang disampaikan pada masyarakat untuk menjawab fenomena kelabilan tanah Pulau Jawa.
Jawaban Sains bukan Mitos
Hal ini juga masih terjadi pada masyarakat kita saat ini. Bagi masyarakat yang tidak memahami sains geografi khususnya proses evolusi permukaan bumi dan terjadinya benua, tidak jarang fenomena ini dikaitkan dengan mitos. Fenomena gempa bumi dan tsunami dikaitkan dengan nama pemerintah, hari sial saat pelantikan, buruknya akhlak masyarakat dan sebagainya.
Meskipun hal ini juga merupakan usaha untuk menjawab fenomena tersebut, namun konotasinya sangat buruk. Wacana ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak sebagai senjata untuk mengkritik bahkan menghantam pihak pemerintah.
Meskipun bencana datang bertubi-tubi dan dapat membuat hampir putus asa, sebagai masyarakat modern seharusnya menjawab permasalahan dengan cara berpikir logis dan ilmiah. Fenomena gempa bumi dan tsunami yang sangat sering terjadi di Jawa (Indonesia) sudah ada sejak dahulu. Kenyataannya negara kita berada di lempeng ujung benua Asia. Lempeng benua ini bertumbukan dengan lempeng benua Australia secara terus-menerus, karena memang demikianlah perjalanan evolusi permukaan bumi.
Melarikan diri dari tanah dan negara ini hanya untuk menghindari gempa dan tsunami adalah pemikiran picik. Pillihan yang tepat adalah mau, mampu, menikmati hidup sekaligus mengambil hikmah dalam situasi khaos sekali pun.
Peribahasa menyatakan Kalau kita pandai meniti buih, selamatlah badan ke seberang.
Eksistensi Bahasa adalah Conditio Sine Qua Non. Karena itu, Perjalanan Wacana Bahasa Tak Akan Pernah Berhenti Sejalan Adanya Manusia Itu Sendiri ....
Selamat Datang,
Blog ini berisi segala wacana yang berhubungan dengan bahasa dan sastra Indonesia. Di antaranya tentang wacana bahasa dan sastra Indonesia, bahan ajar, pusi, cerpen, penelitian, lomba menulis / mengarang, hingga tes kebahasaan.
Saya berharap ada kritik dan saran Anda yang dapat menyempurnakan blog ini.
Bagi adik-adik, silakan membaca atau mengkopi isi blog ini untuk keperluan tugas atau lainnya. Sesuai dengan etika ilmiah, silahkan kutip sumbernya yaitu dari blog ini.
Terima kasih atas kunjungan Anda.
Blogmaster
Blogmaster
Puisi
Model Membaca Puisi Terbaik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukan dan Komentar Anda